Dunia Maya
(2010)
Suatu sore dikala otak sedang penat lantaran baru saja selesai mengerjakan tugas sekolah. Iseng-iseng kubuka browser di komputer yang sedang menganggur di depanku. Langsung saja kubuka situs sosial media yang sedang laku-lakunya dikala itu. Asyik menggulir beranda ke atas dan ke bawah, tak sengaja ku lihat foto yang mebuatku singgah memandangya lama. Foto itu tidak lain adalah salah seorang adik kelasku di sekolahan. Awalnya biasa saja, Tapi entah mengapa jeamriku tergerak untuk mengirimkan chat kepadanya.
"Hai" ketikku di kolom percakapan
Sejenak ku tutup kolom chat itu. Toh belum pasti juga dia balas, fikirku. Lalu ku teruskan menggulir-gulir beranda di layar laptopku. Beberapa Menit tiba-tiba bunyi notifikasi berbunyi. Ternyata balasan chat dari adik kelasku ini.
"Hai juga" balasnya.
Awalnya biasa saja chatting dengannya waktu itu. Hanya sekedar bertanya nama dan juga seputar kebiasaannya di sekolah. Dari situ baru ku tahu ternyata dia teman sekelas dengan teman ku sewaktu mengikuti kegiatan arkeologi. Segera kutanyakan temanku itu. Retno namanya. berdarah Jawa tapi dari kecil sudah hidup di Sulawesi.
"No, benar kamu sekelas sama Noe?" tanyaku memastikan.
"Iya, kenapa memangnya?" tanya Retno penuh selidik.
Dia lalu menunjukiku sembari memicingkan matanya.
"Hayo, ada apa dengan Noe? Naksir yah?" kata Retno. Langsung saja ku bantah. Tetapi dia terus mendesak ingin tau kenapa tiba-tiba ku tanyakan Noe padanya. Lalu ku jelaskan bahwa iseng kemarin saya chatting denganya. Lalu aku iseng bertanya pada Retno. "Apakah Noe sudah punya pacar tidak?" Retno menjawab dengan tatapan nyelenehnya "Tidak, dia baru saja putus dengan pacarnya". "Oh.." jawabku datar. "Kalo butuh makcoblang saya siap kok". Ucap Retno tiba-tiba. Kusanggah saja tentunya "Apasih" ucapku. Lalu Retno tersenyu licik di depanku.
Beberapa hari aku semakin intens berkomunikasi dengan Noe via chattingan di sosial media. Mulai dari hal-hal ringan hingga ke masalah pribadi dan berlanjut ke arah curhat. Dia curhat tentang masa lalunya, kenapa dia bisa putus dengan kekasihnya sebelumnya. Saya serasa enjadi penyimak yang baik. Tetapi keakraban itu hanya berlaku di dunia maya. Di sekolahan tidak seakrab itu. Meskipun sudah pernah saling curhat tentang masalah pribadi tapi saling merasa canggung disaat bertemu secara langsung.
Disuatu pagi saat nongkrong di taman sekolah, Retno mendatangiku.
"Woy, ngelamun aja" katanya sembari mengayunkan buku yang dia pegang di pundakku.
"Mikirin Noe yah? Cie.." ejeknya.
"Ah tidak, hanya memikirkan tugas yang datang bagaikan jelangkung" jawabku
"Sudah seakrab apa kalian?" tanyanya lagi. Lalu ku jelaskan saja perihal kami hanya akrab di sosmed saa dan masih ragu saling menyapa jika berpapasan langsung di sekolah. "Mau ku beri nomor teleponnya tidak?" tanyanya lagi. "Sekalian biar lancar PDKT-nya" sambungnya lagi sambil nyengir memamerkan giginya yang rapi. "Apa sih" jawabku ketus. Retno hanya membalasa dengan senyumnya.
Sesampai di kosanku. Sambil rebahan ku mainkan hp ku yang masih tak secanggih smartphone jaman sekarang. Tiba-tiba hp ku berdering. Ada pesan masuk. Ternyata itu dari Retno. Ternyata dia benar mengirimkan nomor telepon Noe. "Sudah telfon saja dia, mupung dia masih galau. Kamu bisa menjadi sosok yang menghiburnya setiap saat. Atau minimal membuatnya ove on dari mantan kekasihnya yang dulu".
Awalnya ragu tapi tetap ku beranikan diri mengirimkan pesan singkat kepadanya. Tak lama datang juga balasannya. "Dapat dari mana nomor ku?" tanya Noe menyelidiki. "Eh aaf, dapat dari Retno" jawabku. "Memangnya dia tidak izin dulu sama kamu?" tanyaku lagi. "Tidak. tapi tidak apa-apa kok. Toh, sekarang bisa curhat kapan saja asalkan ada pulsa" jawabnya dengan eotikon senyum.
Hari ke hari saya dan Noe semakin sering dan makin intens berkomunikasi dengan Noe. Di sela-sela kami saling tertawa di kolom chat, iseng ku ajak dia ketemuan di sekolah saat jam istirahat tiba. Awalnya canggung ketika bertemu langsung dengannya. Jangankan bertanya macam-macam, basa-basi pun susah. Lidah terasa keluh saat ingin berbicara. Noe hanya senyum-senyum melihatku kaku. Heran melihatku tak secerewet di sosmed ataupun sekedar ngobrol via telefon. Ku balas senyum juga dengan raut wajah malu.
Setelah kami bertemu di sekolah, meskipun hanya ngobrol seadanya tapi kai mulai akrab dan saling melempar senyum saat beradu pandangan. Semakin hari semakin akrab, semakin ku kenal pula sosoknya Noe. Khusnul Khotimah, sosok yang awalnya terasa biasa saja saat pertama kali chatting, kini berubah 180 derajat. Serasa ketergantungan dengan pesan ataupun chatnya. Mulai senyum-senyum sendiri disaat berhubungan via telfon, namun merasa ada yang kurang dikala tak ada satupun pesan yang masuk darinya. Ke sekolah pun jadi lebih semangat hanya untuk sekedar melihat senyumnya secara langsung meskipun itu hanya sesaat.
Seiring waktu, rasanya Noe menjadi hal yang wajib hadir dalam hari-hariku. Bertemu dengannya membuatku serasa hidup di dalam novel meskipun tak seromantis itu juga. Entah rasa apa yang hadir tanpa perisi itu. Rasa yang tak sopan masuk ke dalam hatiku bersama sosok indah yang bernama Noe.
Mungkinkah itu benar-benar cinta atau hanya rasa sesaat saja yang muncul lalu pergi begitu saja tanpa pamit. Ah, kuharap itu benar-benar perasaan yang tulus dari hati, dan semoga saja dia merasakan hal yang sama padaku.
......
Komentar
Posting Komentar