Kerja keras
kami berbuah manis. Meski tidak begitu besar, tetapi akhirnya rumah baca kami
jadi juga. Beberapa bulan berlalu sejak aku dan dibantu beberapa masyarakat
desa membangun gubuk kecil ini, berharap anak-anak kecil akan mengembalikan
budaya membaca buku. Karena buku yang kami miliki kurang banyak, kami
berkeliling desa sembari mencari buku bekas. Di luar dugaan, banyak sekali buku
yang tidak terpakai yang bisa kami kumpulkan. Ada rasa senang, tetapi ada juga
rasa sedih. Senang karena koleksi buku buat rumah baca kami bias bertambah,
tetapi sedih karean itu menandakan minat baca orang-orang telah berkurang. Padahal,
bukankah ilmu pengetahuan adalah modal dasar untuk membawa bangsa menuju masa
depan lebih baik?
Dikala sore datang, kami sudah selesai
enata kembali buku-buku serta mendatanya, sebuah ide liar muncul di kepalaku. Aku
mengusulkan kepada tean-temanku dan beberapa pemuda desa yang sedang
bersantai-santai untuk keluar sejenak dari rumah baca. Awalnya menolak karena
masih merasa lelah. Tidak ku peduli. Tetap saja ku paksakan. Awalnya mereka
bingung saat ku ajak ke lapangan yang tidak jauh dari ruah baca. Apa yang akan
kami lakukan sore ini? Kami akan bermain “Bom”. Wajah kesal mereka berubah
menjadi senyum lebar. Mereka geleng-geleng kepala.
Setelah meletakkan 2 bongkah batu
bata sebagai pendanda wilayah kekuasaan, kami berlari ke sana ke mari dengan
tawa riang terpancar di wajah kami yang sudah dipenuhi keringat. Kawanan nyamuk
berputar di atas kepala kami seiring dengan bau badan yang tidak bisa lagi
diungkapkan dengan kata-kata. Meski tidak begitu lama bermain, karena matahari
mulai tergelincir ke ufuk barat, memainkan permainan masa kecil adalah sebuah
petualangan yang menyenangkan. Kami ingin anak kecil mulai membaca buku. Rasanya
adil jika kami memposisikan diri sebagai anak kecil yang mampu tertawa riang
dalam sebuah permainan.
Aku bahagia karena masa kecilku
dihiasi berbagai permainan yang melibatkan aktivitas fisik. Pantang pulang
sebelum adzan maghrib berkumandang. Bermain bersama teman-teman merupakan hal
yang menyenangkan. Lalu ibu akan menyeret aku untuk pulang, memaksa ku mandi,
dan membedakiku sampai terlihat seperti badut. Tubuhku wajib berbau minyak
telon. Esok harinya, kami akan bermain lagi di lapangan. Kadang kami berkelahi,
namanya juga anak laki-laki, apalagi kalua sahabat ku di bully.
Walau musuhan, kami tidak pernah
lebih dari tiga hari. Kata pak ustad itu dosa. Selain itu, kami anak kecil
tidak gengsi untuk meminta maaf duluan. Di sekolah kami akan menggambar
tokoh-tokoh kartun favorit dari Dragon Ball dan Inuyasha, sambal membicarakan
super hero idola masing-masing. Layaknya seniman hebat, kami tuangkan imajinasi
di halaman belakang buku tulis, terkadang di papan tulis atau meja belajar.
Aku jadi teringat kata Picasso. “Semua
anak adalah seniman. Masalahnya, bagaimana anak itu tetap menjadi seorang
seniman setelah besar nanti”. Mengacu pada kalimat tersebut, muncul pertanyaan,
apakah memasukkan kesenian dalam mata pelajaran sekolah, bukan ekstrakurikuler
merupakan hal yang tepat untuk dilakukan? Bukankah dengan begitu, anak-anak
menjadi takut berkspresi jika gurunya memberi nilai jelek saat anak-anak
mewarnai langit denga warna ungu? Bukankah anak-anak akan kapok tampil di muka
umum jika ia dipaksa menyanyikan lagu yang bukan apa yang hatinya inginkan?
Hal ini berimbas saat kita dewasa,
kta takut menjadi berbeda. Kita memilih untuk ikut alur, menjadi seragam, asal
tidak mendapat nilai rendah di rapor. Seakan-akan, sekolah dibuat untuk mencari
nilai, bukan untuk mengais pengetahuan. Lucu, kita membentuk pola piker anak-anak
aga tumbuh menjadi seperti kita. Padahal diam-diam kita rindu menjadi anak
kecil.
Komentar
Posting Komentar