Hari ini, aku dan teman-teman
mendatangi tempat dari seseorang dari pihak sponsor yang rencananya akan kami
ajak bekerja sama. Orang itu suka sekali berbicara. Aku tentu senang menyimaknya.
Mendapatkan ilmu baru, mendengarkan seseorang berbicara mampu membuat kita tau
tentang karakter orang tersebut. Namun, semakin lama, ada yang membuatku kurang
suka. Dia tidak memberikan kami kesempatan untuk ikut berbicara. Dia terus memaparkan dirinya.
Jika kami yang berbicara, belum selesai sudah dipotong. Ketika aku selesai
mengeluarkan pendapatku, dia malah menyalahkan pendapatku dengan cara yang
halus. “Iya, saya setuju, tapi…” dia selalu memakai kata “tapi” di belakang
kalimatnya.
Dulu, dosenku berkata, “Kata `tapi`
itu mebuat kata-kata di depannya menjadi tiada. Jadi tidak perlu bersusah-susah
mengawali kata-kata kalua ada kata `tapi` di tengah-tengahnya”. Masuk akal
juga. “Kamu cantic, tapi bau badan”. “aku mau main denganmu, tapi aku harus
perg dengan ibuku”. “Kamu terlihat keren, tapi aku lebih keren”. Kata-kata di
depannya tidak perlu dianggap lagi. Makanya abaikan saja kalua dia bilang
sayang padamu tapi belum move on dari
mantan kekasihnya. Itu sudh bisa dipastikan hanya sebuah omong kosong belaka. Mungkin
bagi dosenku itu hanyalah sebuah lelucon, tapi apa bagusnya sebuah artikel atau
tulisan tanpa ada kata “tapi” di dalamnya? Mungkin maksudnya adalah, akan lebih
baik jika kita tidak perlu terlalu banyak ngomong “tapi”, apalagi saat sedang
beriskusi dengan orang lain. Bisa jadi ujung-ujungnya malah debat tiada akhir.
Di dunia ini, ada orang yang senang
mendengar hanya demi menunggu kepastian untuk mematahkan pendapat orang lain
supaya terlihat pintar. Ada juga yang senang diperhatikan tanpa tau caranya
memperhatikan. Ada yang senang menghakimi tanpa menyadari kesalahan sendiri. Sekarang
Tanya dirimu, lebih sulit mana menggerakkan otot lidah dan bibir daripada
membuka telinga lebar-lebar? Lebih sulit menggerakkan otot lidah dan bibir,
bukan? Telinga pasti bisa mendengar jika tidak ditutup dengan tangan. Tapi,
betapa lucunya beberapa manusia senang sekali menggurui tanpa mau belajar. Padahal
bisa saja kita mendapatkan lebih banyak pelajaran kalua kita diam sejenak
sembari endengarkan orang lain bicara. Dan ketika kita memilih untuk tidak
belajar lagi, di situlah kita benar-benar menjadi tua dan tidak bisa
diandalkan. Tidak bisa lagi berkembang. Betapa meruginya orang-orang yang
merasa tau segalanya, merasa bijak, dan tidak mau menerima nasihat orang lain. Padahal
banyak ilmu dan pengetahuan bisa didapatkan dari siapa saja dan kapan saja.
Jadilah seorang penyimak yang baik. Dunia
yang terus bergerak hanya akan bisa diobservasi setelah kita berhenti
membanggakan diri. Saat kita mau menurunkan keangkuhan, alam semesta adalah
guru bagi segala pengetahuan. Berdiskusi tanpa perlu berdebat. Mungkin saja
sebenarnya yang orang lain butuhkan darimu adalah menjadi kawan bicara, bukan
lawan bicara.
Komentar
Posting Komentar