Bersamanya,
(Mei,
2011)
Setelah
Noe memberikan jawaban atas perasaanku, rasa bahagia bagai tak terbendung.
Senang, bangga, dan seribu rasa indah yang lainnya bercampur aduk menjadi satu
dalam cinta dan sayang. Tak ku sangka bahwa dia akan mengaminkan atas apa yang
ku inginkan. Tentu saja tak pernah ada sepintas atau niat sekecilpun untuk
meninggalkanya. Bahkan memikirkan hidup tanpanya pun tak sanggup ku rasa.
Iya,
dialah Khusnul Khotimah. Gadis kelahiran Bulukumba 3 Agustus `95 itu mampu
meruntuhkan segala ego dan perhatianku. Perlahan tapi pasti, semakin menjerat
hati. Semakin tertambat pada sosok yang bisa kukatakan sebagai perempuan
tangguh, perempuan yang menjadi sosok idola di sekolah. Dengan suara merdunya
mampu menggoyangkan hati tatkala ia melantunkan lagu. Itu semualah yang
membuatku memantapkan hati kepadanya.
Tapi
dibalik sikap anggun dan kadang tomboy itu, tentu juga memiliki sifat manja dan
juga punya ego yang harus sabar ku hadapi. Hal yang wajar memang dimiliki
seorang wanita, apalagi diusianya saat itu.
Bulan
pertama terasa begitu indah. Layaknya pasangan remaja yang lainnya, kami selalu
menghabiskan waktu bersama. Lebih mencintai jam kosong dibandingkan hari libur.
Karena bisa menghabiskan waktu serasa sekolahan milik berdua, dan yang lain
hanya sekedar hiasan yang numpang lewat saja. Ya, dulu fikiranku memang seperti
itu. Saling melontarkan kata-kata romantic menjadi bumbu kehidupan sehari-hari
kami. Semua indah dibulan pertama itu.
Tapi,
memasuki bulan berikutnya, terasa ada yang berubah. Yang awalnya manis semanis
gula, kini berubah menjadi hambar tanpa rasa. Dikala kami bertengkar lantaran
seseorang dari masa laluku kembali muncul menganggu hubugan kami. Disaat Noe
tanpa sengaja membuka pesan yang masuk di hpku.
“Hai
Yat, apa kabar? Tidakkah kamu rindu kepadaku?” Tulis mantan kekasihku itu dalam
pesannya. Mungkin lebih baik ku sebut saja dia Dila.
Sebenarnya
pesan itu tidak kuhiraukan waktu itu. Akan tetapi Noe rishi melihat pesan yang
masuk berkali-kali di handphone ku. Diapun marah waktu itu, meninggalkaku di
taman kota. Aku coba kejar tapi hanya diacuhkan olehnya. Entah siapa yang harus
disalahkan. Berhari-hari dia tidak pernah menghiraukanku, bahkan saat beradu
pandang dikala bertemu di sekolah, dia hanya menatapku dengan amarahnya. Yah,
mungkin dia egois tidak mau mendengarkan penjelasanku sebelumnya. Tapi ku
maklumi karena rasa sayangku amat besar padanya.
Belum
selesai masalahku dengan Noe tentang pesan dari Mantanku Dila, kembali muncul
masalah yang baru. Kekasih Dila tidak terima jikalau aku masih komunikasi
dengan Dila. Dia menganggap bahwa aku hanya merusak hubungan mereka. Sungguh,
masalah yang datang tidak ada habisnya. Dalam susasana hati yang masih pusing
dan galau, ku balas pesan dari kekasih Dila dengan kata yang terbilang kasar
dan kembali mengundang masalah baru. “hey,
pacarmu saja yang mengirimiku pesan pendek dan merusak hubunganku, dasar
Anjing!”. Ketikku dalam pesan untuk kekasih Dila. Dan benar saja, itu
sungguh menjadi masalah.
Tiga
hari setelah ku kirimkan pesan itu, kekasih Dila mendatangi sekolahku. Yah, dia
mencariku. Dia datang tidak sendiri. Lebih dari sepuluh motor yang datang
melempari sekolahku. Teman-teman sekolahku yang tidak tau apa-apa refleks
melawan segerombolan anak sekolah lain itu, tanpa mereka tau penyebab sekolah
kami diserang. Tawuran pun pecah, beruntung aku bisa segera keluar dari
kerumunan orang-orang yang saling bertikai itu dan langsung saja ku cari Noe.
“Noe,
kamu di mana?” teriakku saat memasuki kelasnya.
“Joe,
aku di sini” Teriak Noe dari balik meja di dalam kelasnya yang duduk sembunyi
bersama teman-temannya.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanyaku.
“Iya,
di sini aman” Jawabnya. “Memangnya ada apa sampai mereka menyerang sekolah
kita?”
Aku
diam sebentar, dan menghela nafas. “Itu semua buntut dari masalah kita, masalah
pesan dari mantan kekasihku itu”. Kekasihnya tidak terima Dila masih menaruh
rasa padaku, maafkan aku Noe”
Noe
hanya terdiam dengan mata sedikit berkaca. “Aku yang minta maaf karena ini
semua salahku yang tidak pernah mencoba mendengar penjelasanmu, Joe”.
“Sudahlah, jangan sedih begitu. Cantikmu hilang kalau kamu sampai nangis, ikut
luntur karena air matamu”, ucapku dengan senyum sambil mengusap setetes air
mata yang jatuh di pipi Noe. Dia hanya membalas dengan senyum.
“Nah,
gitu dong, kan cantik jadinya kalau senyum”, ucapku dengan nada menggombal.
Mungkin
itulah cara tuhan memberikan jalan, menuntun alam untuk meredamkan ego dari
Noe. Meskipun dengan cara yang sedikit lebih sulit. Aku senang karena hubungan
ku dan Noe kembali seperti sedia kala. Kembali belajar saling mengerti lagi
satu sama lain. Belajar meredam ego masing-masing. Dan tentu saja belajar untuk
berdamai dengan diri masing-masing.
Ku
anggap selesai masalah dengan kekasih Dila itu. Menganggap semua tidak akan
berlanjut lagi. Ternyata itu semua salah. Seminggu setelah kejadian itu,
Kekasih Dila kembali menghadangku di persimpangan menuju kosanku. Jalan ku
dicegat bersama dengan empat orang yang menemaninya.
Ternyata
ia masih belum terima dengan kata-kataku dalam pesan yang ku kirim itu. Dia
kembali ingin membalasku. Sialnya ini sudah sore hari. Sekolahan sudah sepi.
Aku terlambat pulang karena ada urusan organisasiku yang mengahruskan ku
tinggal hingga penghujung hari.
“Hey,
berhenti kamu”, teriaknya dari depanku.
“Kenapa?
Ada masalah apa lagi kamu?” tanyaku.
Tanpa
menjawab, dia langsung mengarahkan tinjunya kepadaku. Beruntung aku masih bisa
mengindarinya. Pukulanya terus berdatangan tetapi terus pula aku menghindar. Ku
dengar bisik-bisik dari temannya yang berkata “sudahlah biarkan mereka, kita tidak perlu ikut campur, toh Joe juga
tidak melawan”. Ya, saya memang tidak melawan. Tapi bukan berarti dia bebas
memukuliku. Aku terus menghindar dan berusaha untuk tidak memberinya
perlawanan. Sampai akhirnya ada teriakan dari arah belakangku, suara yang
sepertinya aku kenali.
“Woy,
jangan berani-berani kamu memukuli kawanku di daerahku” Teriak orang itu dari
belakang.
Refleks
aku menoleh, ternyata dia adalah teman bermain sepak bolaku di dekat kosan. Dia
memang terkenal ditakuti di komplek itu. Segera dia mendekat dan mengangkat
leher baju kekasih Dila. “Awas kalau kau berani-berani mengganggu kawanku lagi,
apalagi di daerahku”. Kekasih Dila pun pergi bersama dengan teman-temannya.
Setelah itu, Kekasih Dila pun tidak pernah muncul lagi di hadapanku.
“Thank
you, Bro. kalau tidak ad kamu sudah habis aku” ucapku sambil tertawa. Dan hanya
dibalas senyum oleh temanku itu.
“Lain
kali kalau ada masalah jangan segan-segan memberitahuku” Ucapnya sambil menepuk
bahuku. Lalu aku langsung pamit pulang istirahat di kosanku.
Esoknya
setiba di sekolah, Noe langsung mencariku panik. Dia tau kalau kemari aku
sempat berantem dengan pacar mantan kekasihku itu. “Kamu berantem lagi yah?”
Tanya Noe dengan raut wajah panik. Belum sempat ku jawab, dia kembai bertanya
“Kamu tidak apa-apa kan?”. Hanya ku jawab dengan senyum pertanda aku baik-baik
saja. “Syukurlah” ucapnya. “Kalau sampe kamu berantem lagi, awas kamu” kata Noe
lagi. “Iya enggak lagi Tuan Putri yang senyumnya selalu membuat hati damai”
kataku sambil menyeringai. “Norak” jawab Noe singkat sembari memukul pundakku.
Kami berduapun tersenyum dan melangkah ke arah kantin.
Setelah
rentetan masalah yang terus datang, kami bisa melaluinya bersama. Membuat
hubungan kami semakin erat. Semakin tak bisa dipisahkan. Dan semoga saja terus
begini. Semoga Tuhan mengindahkan doa dan harapanku ini.
……..
Komentar
Posting Komentar